Manusia katanya adalah mahluk sosial, tidak bisa hidup sendiri, harus memiliki jaringan dan pertemanan, saling membantu, jujur tabah dan bersahaja, rela berkorban dan tabah (halah... pramuka), serta seabrek hal-hal lainnya yang membuat kita menjadi manusia seutuhnya baik sebagai pribadi sekaligus dengan habitat masing-masing.
Hal itu akan terasa mudah, mengasikkan, indah, berjalan apa adanya sesuai khitohnya dan membahagiakan bagi pelakunya, namun seiring perkembangan kelompok, habitat, dan hubungan antar kelompok dalam masyarakat yang memiliki watak dan ciri khas sendiri-sendiri, muncullah toleransi dan saling menghormati antar kelompok tersebut, kemudian berkembang lagi dengan hukum atau aturan-aturan yang disepakati bersama, yang pada perkembangannya rembugan itu akan diwakili oleh perwakilan-perwakilan kelompok. Sampai disini sepanjang masih menjunjung kebaikan dan kemanusiaan tidak akan pernah ada masalah yang berarti.
Seiring dengan berjalannya waktu, jumlah keluarga dan kelompok bertambah hingga mengharuskan adanya administrasi untuk mengatur jalannya perikehidupan baik sehari-hari maupun berkala, sehingga munculah banyak sekali kesepakatan dari alat tukar hingga kesepakatan identitas-identitas bersama yang membedakan dengan kelompok-kelompok admnistrasi besar yang lainnya, dari banyak kesepakatan inilah muncul diskriminasi-diskriminasi yang seharusnya tidak perlu karena adanya perlombaan adu baik dari masing-masing kelompok untuk mendukung kejayaan nama baik yang semakin lama sebenarnya jauh artinya bagi individu-individu pelaku kehidupan.
Semuanya menjadi semakin kompleks ketika terjadi persaingan dan kompetisi antar kelompok yang semakin berkembang dan acapkali menuai korban, semuanya memiliki latar belakang dan akar-akar yang kuat plus kekuatan memori kolektif yang diturunkan terus menerus baik secara lisan maupun tulisan meskipun sedikit. Dalam hal ini pendidikan yang diselenggaran bersama dapat menjadi jembatan dalam menyusun dan mendokumentasikan perkembangan yang terjadi.
Pendidikan memberikan sumbangan besar dalam perkembangan kehidupan bersama itu, baik dalam pengembangan arsitektur kelompok maupun kemasyarakatannya dalam banyak segi, melalui pendidikan pula sebuah bangsa dapat disatukan dengan temuan-temuannya akan dalam pencarian akar kebudayaan dan lain sebagainya, namun pendidikan juga bisa menciptakan suasana kebangsaan baru berdasarkan intrik-intrik penguasa untuk menghilangkan atau memutus mata rantai kesejarahan dan budaya menurut yang diinginkannya, biasanya dinamakan indoktrinasi.
Saat sangat terasa benturan-benturan dari pendidikan ini terutama dalam masalah kebangsaan indonesia yang entah karena banyaknya orang pinter atau ngawur ditambah dengan penguasa yang selalu ingin dikatakan benar maka banyak sekali teori maupun cerita yang muncul dari hanya sekedar sorry, his story maupun history itu sendiri. Keran demokrasi maupun liberalisasi dalam pendidikan memang sudah terbuka namun masih malu-malu untuk diakui dan diimplementasikan, sekalipun dengan banyaknya versi tentang perkembangan kelompok hingga penghapusan budaya dan atau paham tertentu adalah khasanah kekayaan yang patut untuk selalu dikaji untuk memberi warna atau warning bagi budaya sesat pikir yang berkembang tidak terkendali.
Salah satu sesat pikir yang terjadi saat ini adalah mengapa ketika berpidato tentang ekonomi dan energi selalu digembar-gemborkan untuk penghematan sementara jika hemat maka akan mengurangi produktifitas, dan di lain pihak pemborosan keuangan negara untuk 2 kali pesta besar pilpres dan pileg, serta pilkada-pilkada yang jumlahnya ratusan kali, kenapa kesesatan itu harus dilakukan sementara akan lebih efisien dan mengurangi kecurangan ketika semua hal itu bisa dilakukan dalam satu hari yang sama, untuk menghasilkan pemimpin yang berkualitas dan tidak terlalu oportunis, tanpa memberi kesempatan untuk curang dengan berlompatan kian kemari, dalam kuitansi dukung mendukung yang hanya merugikan perikehidupan masyarakat sehari-hari, dan menciptakan konflik rekayasa yang samasekali tidak perlu.
Sepeda Bambu
10 hours ago