Monday, November 24, 2008

Anhar Gonggong, two thums up

Hari ini, senin 24 Nopember 2008, membaca okezone.com, baru kali ini aku melihat sendiri kejujuran bapak satu ini tentang sejarah yang sudah diputar balikkan oleh para penguasa zalim di sini.

Logika sederhananya saja adalah bahwa di kasus tragedi 1965 adalah siapa yang banyak korbannya itulah yang perlu dibela, karena menyangkut soal hak asasi manusia dan bla..bla..bla. Serta mengapa korban yang sudah dipenjara lebih dari setahun dan tanpa pengadilan yang jelas satu demi satu, masih di kucilkan hingga saat ini, pada masa reformasi yang sudah mengarah ke orde yatim piatu ini, maksudnya tidak punya dasar teori yang jelas, kecuali rezim devisa dan ekonomi saja. So mungkin orang akan merasa jengah dan tanda tanya kenapa bisa terjadi sampai saat ini dan isu pengkhianatan yang direproduksi terus menerus, apakah tidak ada hal lain yang lebih menarik dan seksi.

Memang benar kita harusnya tidak mengungkit-ungkit kasus yang lama dan menyakitkan ini, dan korban kasus ini pun yang jumlahnya jutaan sudah diam seribu bahasa, bahkan malah memaafkan para serdadu yang dulu menyiksanya sampai hampir mati, tapi entah bagi yang sudah meninggal dunia, hanya tuhan yang mengetahuinya. Kok nggak takut ya, sudah melakukan pembantaian, dan sampai sekarang masih menutup-nutupinya, bahkan merasa benar....adalah sebuah tanda tanya yang besar.

10 jenderal diganti dengan 750 ribu jiwa melayang saya kira sudah impas, dan sudah untung luar biasa, jika dihitung berdasarkan matematika, tapi jika dihitung dengan amal kesalahan...wow...mati aja kamu para pembantai sesama warga negara.

Gelar Pahlawan Bagi Soeharto, Sejarawan Cibir PKS

Senin, 24 November 2008 - 08:43 wib
Hariyanto Kurniawan - Okezone
JAKARTA - Kontroversi gelar pahlawan yang didengungkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam iklan politiknya di televisi masih mendapat cibiran. Termasuk dari kalangan sejarawan.

"Realistis saja. Pada saat memerintah, dia (Soeharto) melakukan korupsi. Kekayaan keluarganya Rp1.000 triliun," ucap sejarawan Anhar Gonggong menanggapi persoalan tersebut, saat dihubungi okezone, Senin (24/11/2008).

Bahkan gelar Bapak Pembangunan pun dipertanyakan oleh Anhar. "Siapa bilang pembangunan sukses di bawah Pak Harto. Korupsi di mana-mana. Kesusahannya samapai sekarang masih terasa," paparnya.

Pembangunan, menurut Anhar, memang sukses. Namun buat Soeharto, keluarga, serta kroninya sendiri. Maka itu, Anhar tidak percaya dengan apa yang dilakukan oleh PKS.

"Saya sedih dengan PKS. Saya anggap dia partai terbaik. Ternyata dia doyan duit juga. Kekuasaan juga ingin dia raih," katanya.

Kalau pemberian gelar kepada Soeharto dilatarbelakangi rekonsiliasi, mengapa tidak juga menyertakan para tokoh, dan golongan lain.

"Kenapa tidak juga dengan PKI, RMS, GAM, OPM? Kenapa tidak tampilkan, Aidit, Daud Beureuh, Hasan Tiro. Itu kalau mau rekonsiliasi," tukasnya. (hri)

Sejarawan: Tak Perlu Pemutaran Lagi Film G30S PKI

Senin, 24 November 2008 - 08:37 wib
Hariyanto Kurniawan - Okezone

JAKARTA - Sejarawan menolak film kontroversial G30S PKI ditayangkan lagi secara rutin di televisi. Karena film tersebut penuh dengan propaganda, dan untuk apa dilanjutkan.

"Untuk apalagi memutar yang semacam itu. Saya pikir tidak terlalu urgen," kata sejarawan Anhar Gonggong saat berbincang dengan okezone, Minggu (24/11/2008).

Lagipula, lanjut Anhar, hingga kini masih dicari fakta siapakah yang terlibat dalam� tragedi pembantaian tujuh jenderal itu. Apakah Partai Komunis Indonesia (PKI), Amerika Serikat, atau Soeharto?

"Itu masih perlu diteliti lebih lanjut. Ada sesuatu yang harus dipertanyakan, dan direvisi," tegas Anhar.

Pemerintah, menurutnya harus berpikir ulang jika menanggapi permintaan tersebut. Juga harus dipikir baik dan buruknya. (hri)

Sejarawan Tolak Permintaan Amelia Yani Soal Film G30S PKI

Senin, 24 November 2008 - 08:01 wib
Hariyanto Kurniawan - Okezone

JAKARTA - Pernyataan putri mendiang pahlawan revolusi Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani, Amelia Yani, yang mempertanyakan tidak diputarkannya kembali film G30S PKI, ditentang oleh sejarawan.

"Saya tidak tahu jalan pikiran Amelia," tukas sejarawan Anhar Gonggong mengomentari pernyataan Amelia, saat dihubungi okezone, Senin (24/11/2008).

Anhar mempertanyakan pernyataan yang dilontarkan Amelia, saat diskusi di Gallery Cafe, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu 22 November lalu. Sejarawan ini pun kembali mempertanyakan rakyat yang dibawa-bawa Amelia yang dikatakan merindukan film G30S PKI tersebut.

"Rakyat mana? Apa dia pernah melakukan penelitian kalau rakyat mau pemutaran kembali film itu?" tanya Anhar.

Singkatnya, Anhar mengatakan, film kontroversial itu tidak perlu diputar lagi. "Saya pikir tidak terlalu urgen," tegasnya.

Seperti diberitakan okezone, Amelia heran dengan tidak ditayangkan kembali film kontroversial itu. Amelia mengaku tidak ada yang salah dengan film tersebut, dan tidak ada rekayasa sejarah di dalamnya.

Bahkan Amelia berani mengatakan, tindakan Soeharto yang pada saat itu sebagai Pangkostrad benar. Karena tanpa tindakan Soeharto, Indonesia akan hancur. (hri)

Dr Anhar Gonggong: Kondisi Sekarang Anti-Pancasila
- oyiek.multiply.com/journal -

Laki- laki kurus, gondrong, dan berkacamata minus itu bergegas memasuki ruang rapat di lantai 8 Gedung E Depdiknas. Senyumnya mengembang, tatapannya ramah. “Maaf agak lama, saya ada pertemuan dulu di lantai dua,” katanya sambil mempersilakan tim Nebula duduk.
Dr Anhar Gonggong, bukanlah nama asing dalam dunia kesejarahan di Indonesia saat ini. Ia dikenal sebagai salah satu sejarawan yang selalu berupaya mendudukkan sejarah Indonesia pada tempatnya. “Banyak fakta sejarah kita yang harus diluruskan kembali,” ujar laki-laki kelahiran Pinrang, Sulawesi Selatan, 64 tahun lalu itu.

Termasuk pernyataan Bung Karno tahun 1945, saat rapat perumusan Pancasila, yang belum banyak diungkap: “Di dalam Indonesia merdeka, tidak akan ada kemiskinan.” Lantas, kenapa Indonesia kini ada dalam jajaran negara paling miskin di dunia? “Ya, ini bukti kita tidak Pancasilais,” kata dosen pasca sarjana pada jurusan ilmu sejarah Universitas Indonesia itu.
Banyak hal yang disampaikan Anhar tentang masa lalu yang bisa memengaruhi masa depan Indonesia. Kepada Hendi Johari, Erwyn Kurniawan dan pewarta foto Tatan Agus RST, Anhar menyampaikan pandangannya yang, boleh jadi, selama ini tidak sempat terpikirkan oleh kita.

Bagaimana Anda melihat peristiwa perumusan Pancasila 62 tahun lalu?

Begini, secara historis, selama ini kita telah salah memahami Pancasila. Banyak orang mengira, Pancasila itu adalah sesuatu yang murni diciptakan oleh Soekarno, dan merupakan sebuah karya yang digali dari perut bumi Nusantara. Itu, jelas, tidak seluruhnya benar, namun tidak juga semuanya salah.

Jadi?

Yang benar adalah, apa yang dirumuskan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945 itu, merupakan kristalisasi dari pemikirannya sejak 1926. Kita tahu, pada tahun itu, Soekarno menulis sebuah buku yang dia beri judul Nasionalisme, Islam dan Marxisme. Nah, dari sinilah kemudian Soekarno mulai mengembangkan pemikirannya hingga 1940-an. Kemudian, ada orang bilang, Pancasila itu digali dari warisan asli Indonesia. Kata siapa? Kalau benar itu warisan asli bumi Indonesia, mengapa Soekarno dalam Lahirnya Pancasila menyebut pemikiran Lenin, Sun Yat Sen dan beberapa ahli lainnya?

Artinya, Pancasila merupakan campuran berbagai ide?

Sejarah mengatakan, memang demikian adanya. Tapi, kita jangan lupa, Soekarno merumuskan Pancasila berangkat dari sebuah pemahaman kondisi bahwa Indonesia merupakan negara yang majemuk. Majemuk dalam dua hal. Pertama, dari segi geografis atau kondisi alam. Kedua, majemuk dalam arti memiliki ragam latar budaya dan penduduk. Dari situasi itu, Soekarno sangat menyadari bahwa bangsa ini memerlukan sebuah alat pengikat. Alat pengikat itu, menurut dia, tak lain adalah Pancasila.

Ada pendapat, Pancasila merupakan hasil kompromi dari dua kekuatan yang bersaing saat itu, yakni Islam dan Nasionalis?

Betul. Dan inilah salah satu bukti cerdasnya Soekarno. Sepanjang proses pergerakan nasional dan pascakemerdekaan, ideologi yang selalu bersaing adalah kekuatan Islamisme dan kekuatan nasionalisme. Karena itu, Soekarno memberikan sebuah rumusan yang bisa mengikat kedua ideologi itu untuk kepentingan bangsa. Rumusan itu adalah Pancasila. Jadi, tujuan Soekarno merumuskan Pancasila adalah untuk memberi kedua ideologi yang berbeda itu suatu pegangan bersama.

Jadi, sangat tidak mungkin memisahkan Soekarno dengan Pancasila?

Tentu saja tidak mungkin. Dan ini yang penting, adalah sangat keliru kalau ada orang yang mengidentikkan Soekarno hanya dengan Pancasila yang dirumuskan 1 Juni. Pancasila yang dirumuskan 1 Juni itu adalah Pancasila yang kemudian berproses sampai 18 Agustus. Jadi, kalau ada orang yang menilai Pancasila 1 Juni, Pancasila 22 Juni, dan Pancasila 18 Agustus, itu masing-masing berbeda, yakin saja, orang itu tidak paham sejarah. Pancasila itu adalah dari 1 Juni, 22 Juni hingga 18 Agustus, itu tidak bisa dipisahkan. Dan, di setiap momen itu, Soekarno selalu menjadi penentu. Jadi, kalau ada orang yang mau memisahkan Pancasila dengan Soekarno, itu kecelakaan sejarah.

Mengapa kita harus melihat sejarah Pancasila seperti itu?

Begini, orang tidak melihat tiga waktu itu sebagai rentetan proses yang saling terkait. Tanggal 1 Juni 1945, Pancasila sebagai calon dasar negara, baru dirumuskan, dan diajukan Soekarno kepada sidang BPUPKI (Badan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia—red). Tanggal 22 Juni 1945, BPUPKI membuat sebuah panita kecil berisi 9 anggota dengan pimpinan Soekarno untuk membahas tawaran Soekarno itu. Baru pada 18 Agustus 1945, Pancasila disahkan sebagai dasar negara.

Apa akibatnya jika Pancasila hanya dilihat dalam satu momentum saja?

Kita akan kehilangan fakta sejarah yang benar. Dan, kalau sejarah sudah kehilangan fakta, itu namanya bukan sejarah.

Ke depan, apakah sebagai pengikat, Pancasila masih bisa diandalkan?

Tergantung bagaimana orang Indonesia menanggapinya sekarang. Kalau saya, jujur saja, sangat khawatir. Orang sekarang malas berbicara soal Pancasila. Saya bertanya, siapa yang mau berdiskusi soal Pancasila sekarang? Orang kampus saja, sudah ogah. Sebagai warga negara, justru hal seperti itu sangat saya khawatirkan. Tidak ada sebuah negara yang tidak tegak di atas sebuah ideologi. Selonggar apa pun pengertian ideologi itu. Amerika punya ideologi, ideologi demokrasi. Kita punya apa? Angkatan pergerakan nasional sudah memberikannya kepada kita, yakni Pancasila. Sayangnya, dalam upaya penerapannya, Pancasila selalu ditawarkan dalam bahasa cuci otak. Dipaksakan dengan cara indoktrinasi.

Mungkin itu yang membuat orang Indonesia jadi malas bicara soal Pancasila?

Bisa jadi. Saya melihat, setelah reformasi, orang Indonesia seolah sudah lupa bahwa mereka memiliki dasar negara yang harus dikembangkan dan dipahami.

Apa cara yang harus dilakukan untuk menanamkan pemahaman itu?

Tentu saja lewat pendidikan. Sosialisasikanlah Pancasila sebagai ilmu. Bisa macam-macam bentuknya. Katakanlah, lewat ilmu sejarah, dengan menerangkan secara benar proses kelahiran dan perumusannya. Atau lewat ilmu kenegaraan, bagaimana kita bernegara secara Pancasilais. Jadi, Pancasila bisa berkembang dan tidak hanya sekadar dikunyah-kunyah sebagai alat verbalistik. Pancasila harus menjadi ide realistik.

Bagaimana bisa, orang Indonesia tidak lagi peduli dengan dasar negaranya?

Ya, karena orang sudah bosan, sejak 40 tahun lalu, dicekoki dengan verbalisme. Ditambah, orang tidak mengetahui apakah Pancasila dijalankan secara realistik saat zaman Bung Karno dan Pak Harto? Ya, jadinya orang menganggap itu cuma cerita bohong. Apatis akhirnya. Ya, kalau setiap ada orang yang tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah, lalu dianggap anti-Pancasila dan ditangkapi, ini kan masalah. Apalagi sekarang kemiskinan masih berjalan. Bagaimana Pancasila bisa dirumuskan dalam situasi begini? Rakyat melihat itu, kok.

Dalam hal penerapan, Pancasila gagal?

Jelas gagal. Pancasila tidak pernah sukses saat diterapkan. Itu fakta. Dari zaman Bung Karno sampai Pak Harto, dan sampai sekarang implementasi Pancasila itu gagal. Di mana-mana, rakyat jauh dari sejahtera, dan menderita. Jangan jauh-jauh, contoh paling dekat kasus Lapindo.

Padahal, Pancasila sangat mengindahkan kesehjateraan rakyat?

Begini, saat lahirnya Pancasila, ketika Soekarno merumuskan arti keadilan sosial, apa yang dia katakan? Kita bisa catat: “Di dalam Indonesia merdeka, tidak akan ada kemiskinan.” Itu, dia ucapkan pada pidato 1 Juni 1945, ketika dia merumuskan Pancasila. Dan sekarang, setelah 62 tahun kita merdeka? Kita menjadi salah satu negara termiskin di dunia. Belum masalah keadilan hukum, bagaimana bisa koruptor berkeliaran? Ya, inilah bukti kita jelas tidak Pancasilais.

Orang akan kembali percaya kepada Pancasila kalau nilai-nilainya sudah dibuktikan?

Oh, iya. Tapi, bagaimana dalam situasi sekarang orang akan percaya? Sedang jurang sosial menganga lebar antara rakyat dengan pejabat. Itu fakta. Kita hidup sekarang ada dalam pengertian anti-Pancasila, kok.

Apa yang harus dilakukan untuk ke luar dari situasi anti-Pancasila itu?

Kita harus mendapatkan pemimpin yang baik. Jelas, persoalannya ada pada pemimpin. Selama kita tidak mendapatkan pemimpin yang baik, ya kehidupan kita akan selalu begini.

No comments:

Post a Comment

Message from the green side