Friday, September 19, 2008

Ritual Penggusuran di Jakarta

Koran TEMPO, 10 September 2008
Firdaus Cahyadi, Knowledge Sharing Officer for Sustainable Development OneWorld-Indonesia

Seorang perempuan setengah baya tampak menangis pilu setelah melihat rumahnya dirobohkan aparat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kepada seorang reporter televisi, perempuan itu mengungkapkan kebingungannya ke mana ia akan tinggal setelah rumahnya dirobohkan.

Itulah cuplikan berita dari salah satu stasiun televisi swasta saat terjadi penggusuran permukiman di Taman Bersih, Manusiawi, dan Wibawa (BMW), Tanjung Priok, Jakarta, beberapa waktu yang lalu.

Kegetiran, kesedihan, dan kebingungan warga miskin Kota Jakarta adalah pemandangan yang tak terpisahkan setiap terjadi aksi penggusuran. Ironisnya, siapa pun gubernurnya, penggusuran seakan menjadi ritual pembangunan Kota Jakarta yang tidak dapat ditinggalkan.

Meskipun Jakarta kini dipimpin seorang gubernur dengan latar belakang sipil, ritual penggusuran tatap saja dipertahankan. Sementara pada kepemimpinan sebelumnya penggusuran dilakukan dengan mengatasnamakan pembangunan fisik kota, saat ini penggusuran dilakukan dengan mengatasnamakan isu lingkungan hidup, yaitu perluasan ruang terbuka hijau (RTH).

Atas nama perluasan RTH, digusurlah pedagang di Pasar Bunga Barito, Rawasari, dan terakhir di Taman BMW. Kebijakan penggusuran yang mengatasnamakan lingkungan hidup tersebut akan terus berlanjut sepanjang tahun ini. Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI Jakarta 2008 menyebutkan, ada 16 lokasi permukiman padat penduduk di lima kota yang akan digusur.

Anehnya, penggusuran dengan mengatasnamakan perluasan RTH ini hanya ditujukan terhadap komunitas warga yang tidak mempunyai akses terhadap modal dan kekuasaan. Padahal, faktanya, bukan hanya warga miskin yang menyerobot kawasan RTH di Jakarta, tapi juga orang-orang kaya.

Bahkan dari sisi luasan, sebenarnya kawasan RTH lebih banyak yang dialihfungsikan menjadi kawasan komersial oleh orang-orang kaya dibanding menjadi permukiman liar warga miskin kota.

Di Taman BMW, misalnya, dari 66,5 hektare total luas taman, hanya seluas 26,5 hektare yang ditempati warga miskin kota. Sedangkan hutan kota di kawasan Senayan seluas 279 hektare yang dalam Rencana Induk Jakarta 1965-1985 diperuntukkan sebagai RTH kini telah berubah fungsi menjadi kawasan komersial. Hutan kota di kawasan itu telah berubah fungsi menjadi Senayan City (pusat belanja yang dibuka pada 23 Juni 2006), Plaza Senayan (pusat belanja dan perkantoran, dibuka 1996), Senayan Trade Center, Ratu Plaza (apartemen 54 unit dan pusat belanja, dibangun pada 1974), serta bangunan megah lainnya.

Hal yang sama juga terjadi pada hutan kota Tomang. Rencana Induk 1965 dan 1985 memperuntukkan lahan di Simpang Tomang ini sebagai sabuk hijau Jakarta. Kini hutan itu berubah menjadi Mediterranean Garden Residence I (apartemen, dibangun pada 2002, selesai 2004), Mediterranean Garden Residence II (apartemen, dijual pada 2005), dan Mal Taman Anggrek (apartemen dan pusat belanja, dibuka pada 2006).

Pertanyaan berikutnya, kenapa penggusuran menjadi semacam ritual yang tidak dapat dipisahkan dari perjalanan pembangunan Kota Jakarta? Ritual penggusuran sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari orientasi pembangunan yang menempatkan Jakarta sebagai pusat segala aktivitas, baik aktivitas ekonomi maupun politik. Dari dulu hingga kini, orientasi pembangunan seperti itulah yang mendorong terjadinya penggusuran terhadap RTH dan warga miskin kota.

Kini, setelah kawasan komersial itu berdiri dan Jakarta telah menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, ribuan bahkan jutaan orang ditarik masuk ke kota. Seperti layaknya semut yang mencari gula.

Sebagian dari mereka adalah orang-orang miskin yang tidak memiliki keterampilan dan pendidikan yang cukup. Mereka datang hanya untuk ikut memperebutkan uang yang memang banyak beredar di Jakarta. Nasib pun mengantar mereka menjadi pekerja informal di kota ini. Pendapatan mereka pun tak mampu menjangkau harga tanah di tengah kota, bahkan juga di pinggiran kota untuk permukimannya.

Akibatnya, dengan terpaksa mereka menempati tanah-tanah yang menjadi milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Tak mengherankan bila pemerintah DKI Jakarta menganggap mereka sebagai pemukim liar, meskipun kehadiran dan tindakan mereka itu sebenarnya tak bisa dilepaskan dari kebijakan pembangunan yang dirancang pemerintah sendiri.

Untuk menghentikan ritual penggusuran dalam setiap kebijakan pembangunan kota, dibutuhkan kebesaran hati para pengambil kebijakan di Kota Jakarta dan mungkin juga di tingkat pusat untuk mengurangi sedikit demi sedikit daya tarik kota ini. Gula-gula pembangunan harus disebar, tidak boleh lagi terpusat di Jakarta.

Kota Jakarta sudah terlalu gemuk. Seperti layaknya orang yang mengalami problem obesitas (kegemukan), untuk mengatasinya adalah dengan melakukan diet atau mengurangi kuantitas makanan yang masuk ke tubuhnya, bukan justru memanipulasinya dengan selalu memakai baju yang lebih besar dari ukuran tubuhnya.

Namun, sejak dulu hingga kini tampaknya belum ada Gubernur DKI Jakarta yang menyadari bahwa kotanya telah mengalami problem obesitas, sehingga perlu diet. Akibatnya, problem sosial dan ekologi di kota ini semakin sukar dipecahkan.

Sayangnya, di tengah kekacauan kota itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta cenderung memilih melestarikan ritual penggusuran terhadap warganya yang tidak memiliki akses terhadap modal, meskipun kenyataan selama ini menunjukkan pilihan tersebut tidak menyelesaikan persoalan. Jika ritual penggusuran itu terus dilestarikan, akan muncul persoalan-persoalan sosial dan ekologi baru di Jakarta yang semakin sukar diurai.

Akibatnya, semua upaya mengatasi problem kota pun sekadar dijadikan proyek bagi para konsultan pembangunan, oknum pejabat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan para pemilik modal. *

No comments:

Post a Comment

Message from the green side