mau apa?
Menggunakan produk buatan China atau buatan manapun memang tidak dilarang dan tidak ada kait mengkaitnya dengan keyakinan atau relijius apapun, mungkin setahu saya. Mungkin hanya alasan karena murah, terjangkau dan lain sebagainya dan toh tak ada yang salah dengan segala alasan tersebut. Entah juga apa bedanya antara negara kapitalis dan negara komunis juga buat apa dipikirkan karena toh itu bukan negara kita, kalo pun masih mengakuinya karena pemimpin disini yang sudah cuek bebek dan tak peduli lagi dengan warganya bahkan dengan kondisi fisik Negeri Begajul yang terkikis perbatasannya sedikit demi sedikit meski dahulu diperjuangkan dengan keringat dan semangat sadumuk bathuk sanyari bumi, tentusaja memang tak ada hubungannya sama sekali.
Produk murah memang bukan hanya mengkhawatirkan kualitasnya, bukan itu memang karena jika diproduksi massal toh semuanya bisa menjadi murah meriah dan berkualitas. Ada apa dibalik itu tentunya adalah seperti yang digembar-gemborkan ketika masih sekolah #jamanSD yaitu biaya tenaga kerja yang murah. Dari kata murah inipun bisa dijabaran sendiri-sendiri, karena mungkin memang banyak permintaan, pemilik modal yang pelit dan mengeruk uang yang kejam, atau tidak adanya penghargaan kepada sesama manusia, aliyas menganggap para buruh hanyalah mesin belaka, yang bisa disuruh ini dan itu dengan kualitas dan target ini dan itu, atau apa saja karena mereka memang sangat membutuhkan penghasilan dengan kontrak dan job deskripsi yang sudah saling disetujui.
dikutip dari sini.
Tidak bisa dan tidak mungkin ngrasani perusahan multinasional yang membuat produk-produk semacam Iphone, maindboard dan lain sebagainya, selain prihatin karena perusahaan dengan produk mutakhir dalam bidang tehnologi yo masih juga mempekerjakan orang-orang muda dan dengan bayaran yang tak seimbang, bagaikan mesin sehingga rasanya produk-produk tehnologi tinggi adalah juga produk berdarah, berbau sadis serta tidak kalah sadis dengan perang, perampasan hak, dan maupun produk lain yang bukan untuk tehnologi informasi.
Hanya berharap dengan aroma neoliberalisme yang semakin menjadi dan retorika-retorika politik yang hampir setiap waktu memuakkan dan membuat telinga penat, agar tidak keterusan, dan memang sebagai sebuah administrator sebuah organisasi bernama negara juga sangat sulit meskipun bisa diatasi dengan banyak hal, karena toh pada akhirnya hanya lempar kasus dari sana ke sana, atau dari sini ke sana... yang mungkin juga membutuhkan kelihaian tersendiri sebagaimana retorika yang kadang berbau curhat dan sangat jauh dari solusi yang sangat diperlukan sebenarnya.
Produk murah memang bukan hanya mengkhawatirkan kualitasnya, bukan itu memang karena jika diproduksi massal toh semuanya bisa menjadi murah meriah dan berkualitas. Ada apa dibalik itu tentunya adalah seperti yang digembar-gemborkan ketika masih sekolah #jamanSD yaitu biaya tenaga kerja yang murah. Dari kata murah inipun bisa dijabaran sendiri-sendiri, karena mungkin memang banyak permintaan, pemilik modal yang pelit dan mengeruk uang yang kejam, atau tidak adanya penghargaan kepada sesama manusia, aliyas menganggap para buruh hanyalah mesin belaka, yang bisa disuruh ini dan itu dengan kualitas dan target ini dan itu, atau apa saja karena mereka memang sangat membutuhkan penghasilan dengan kontrak dan job deskripsi yang sudah saling disetujui.
It was hardly a spontaneous outpouring. Rather, it was a joint production of employee unions and management at Hon Hai Precision Industry, the flagship of Foxconn Technology Group, as part of an effort to mend the collective psyche of a Chinese workforce that numbers more than 920,000 across more than 20 mainland factories. The need to do so became apparent after 11 Foxconn employees committed suicide earlier this year, most of them by leaping from company-owned high-rise dormitories. The publicity-averse Taipei-based company and its 59-year-old founder and chairman, Terry Gou, were thrown into the spotlight, subjected to unfamiliar scrutiny by customers, labor activists, reporters, academics, and the Chinese government.
The suicides introduced Foxconn to much of the world in the worst terms imaginable—as an industrial monster that treats its workers like machines, leveraging masses of cheap labor, mainly 18-to-25-year-olds from rural areas, to make products like the iPhone at seemingly impossible prices. For Western consumers, the lost lives were an invitation to consider the real cost of their electronic playthings. For the image-conscious companies with which Foxconn does business, including IBM (IBM), Cisco (CSCO), Microsoft (MSFT), Nokia (NOK), Sony, Hewlett-Packard (HPQ), and Apple (AAPL), the suicides were a public-relations nightmare and a challenge to offshoring strategies essential to their bottom lines.
dikutip dari sini.
Jaring pengaman bunuh diri |
Tidak bisa dan tidak mungkin ngrasani perusahan multinasional yang membuat produk-produk semacam Iphone, maindboard dan lain sebagainya, selain prihatin karena perusahaan dengan produk mutakhir dalam bidang tehnologi yo masih juga mempekerjakan orang-orang muda dan dengan bayaran yang tak seimbang, bagaikan mesin sehingga rasanya produk-produk tehnologi tinggi adalah juga produk berdarah, berbau sadis serta tidak kalah sadis dengan perang, perampasan hak, dan maupun produk lain yang bukan untuk tehnologi informasi.
Hanya berharap dengan aroma neoliberalisme yang semakin menjadi dan retorika-retorika politik yang hampir setiap waktu memuakkan dan membuat telinga penat, agar tidak keterusan, dan memang sebagai sebuah administrator sebuah organisasi bernama negara juga sangat sulit meskipun bisa diatasi dengan banyak hal, karena toh pada akhirnya hanya lempar kasus dari sana ke sana, atau dari sini ke sana... yang mungkin juga membutuhkan kelihaian tersendiri sebagaimana retorika yang kadang berbau curhat dan sangat jauh dari solusi yang sangat diperlukan sebenarnya.
yah urip sawang sinawang mas nek melihat mereka ketoke hebat tapi sakjane sadis juga
BalasHapuspada akhirnya jangan sampai rakyat kecil yang menjadi korban...
BalasHapusdan saya pun bagian dari kesadisan tersebut
BalasHapusgek ndang kiamat wae, ben iso pisuh2an nang neroko
BalasHapusbangsa ini senang dengan yang berdarah2. bukan hanya produk2 elite "berdarah" bahkan pemimpin dan pejabat negeri ini akan tersenyum bila melihat darah rakyatnya tertumpah. Demi uang 15rb istana pun membunuh rakyatnya
BalasHapusmau apa lagi coba
BalasHapuscocing cocing cocing, mau mau mau?
BalasHapusAlamendah's Blog mengucapkan selamat idul fitri 1 Syawal 1431 H.
BalasHapusMohon maaf lahir batin
met lebaran.. maaf lahir dan batin
BalasHapussing penting murah...!
BalasHapusenaknya gimana mas...beli produk "berlumuran darah" dari China, ato produk lokal berlumuran dosa...xixixi...tapi ngomong-omong cewek china itu putih2 n mulus2 lho kang....suwer...
BalasHapussampai segitunya hasrus dipasang jaring pengaman ya ???
BalasHapusberarti emang udah banyak kasus
salam kenal sahabat
sudi kiranya bertukar link dengan saya ???
apapun, dimanapun, akhirnya begitupun........ ampun deh.......
BalasHapuskajian menarik sob
BalasHapusTerkadang saya dan tmn2 merasakan miris akan hal itu, tetapi saya kembali berfikir akan ketidakberdayaan saya untuk tdk bisa berbuat banyak...
BalasHapusBerkeluhkesah tentu takkan menyelesaikan masalah. Tapi, untuk ikut dalam penyelesaian persoalan besar di negara ini, tentu saja bukan hal yang mudah. Barangkali, yang dapat kita lakukan adalah melakukan hal-hal kecil untuk diri kita dan sekitar kita yang mengarah kepada perbaikan hidup dan cara berpikir...
BalasHapusSelamat idul fitri Mas...
Mohon maaf lahir dan batin ya.. :)
akankah Indonesia seperti China?
BalasHapus@vizon:
BalasHapusPemimpin kita saja suka berkeluh kesah di televisi ya apalagi ya dipimpinnya :)
Nice Article, inspiring. Aku juga suka nulis artikel bidang penyembuhan dan kesehatan di blogku : www.TahitianNoniAsia.net, silahkan kunjungi, mudah-mudahan manfaat
BalasHapusTerbongkarnya Rahasia Sukses...!
BalasHapusmau apa? Mau berpikir gimana biar kita orang endnesia gak cuma cekolah cuma buat kerja ma orang and setelah terjadi kesenjangan kerjanya demooo....Kenapa tidak berpikir untuk membuat lapangan usaha sendiri...Mau gaji berapapun, waktu kapanpun bisa ditentukan sendiri bukan???
BalasHapusMenuju masyarakat yang konsumtif :D
BalasHapus