Monday, November 3, 2008

Kontradiksi Istilah Relawan Politik

Sugeng Riyanto
Dosen Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Secara sederhana, politik dapat dipahami sebagai upaya memperoleh, mempertahankan, dan memperbesar kekuasaan, demikian pendapat penulis India, Kautilya. Karena itu, orientasi setiap kegiatan politik adalah kepentingan yang berupa kekuasaan. Tidak ada aktivitas politik yang nir kepentingan (tanpa pamrih). Besar atau kecil, cepat atau lambat, tersembunyi atau terus terang, kepentingan selalu ada dalam setiap aktivitas politik.

Maka, tentu saja menimbulkan pertanyaan yang menggelitik jika ada aktivitas politik yang mengklaim dirinya relawan, termasuk relawan untuk mendukung seseorang menjadi presiden, gubernur, atau bupati. Kita akan segera bertanya, apakah relawan ini memang tidak punya kepentingan? Seberapa relakah mereka, atau jangan-jangan istilah relawan ini sekadar bungkus, sedangkan isinya sama saja yakni kepentingan.

Kontradiksi

Relawan berarti orang yang rela, bersedia tanpa syarat, untuk melakukan aktivitas tertentu. Relawan adalah orang yang bekerja dengan semangat pengabdian pada kemanusiaan, dan karenanya mereka bekerja mengabdikan dirinya tanpa pamrih. Mereka bekerja tanpa tendensi kepentingan. Kalaupun ada kepentingan tersirat, itu kepentingan bersama, bukan kepentingan pribadi dan golongan.

Pada umumnya relawan muncul dalam berbagai bencana alam dan bencana sosial. Di sanalah muncul aksi kemanusiaan. Bencana alam yang melanda beberapa daerah di Indonesia dalam lima tahun terakhir ini, misalnya, mengundang keprihatinan banyak pihak untuk mengulurkan kepeduliannya akan sesama yang sedang terkena musibah. Mereka menyumbangkan dirinya untuk bekerja dengan tenaga dan pikiran tanpa berharap keuntungan materi, bahkan keuntungan sanjungan sekalipun. Hal ini tugas kemanusiaan yang nir kepentingan. Karena itu, menjadi relawan (volunteer ) adalah panggilan jiwa dan sebuah kehormatan. Semenjak itulah kata relawan menjadi sangat populer dalam masyarakat.

Pada ranah yang lain, politik hampir identik dengan kepentingan. Adagium-adagium politik sudah jelas, misalnya dalam politik tak ada kawan yang abadi, tak ada lawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan yang abadi. Hal ini menggambarkan betapa kepentingan itu melekat dalam politik. Adagium lain mengatakan, dalam politik, "there is no such thing as a free lunch", tak ada yang namanya makan siang gratis. Itu berarti hampir mustahil jika berpolitik tanpa kepentingan, termasuk mendukung kegiatan politik seseorang yang sedang berpolitik, tanpa kepentingan tertentu. Kepentingan dalam politik bisa bermacam-macam, bisa saja berupa harta (uang) atau juga takhta (kekuasaan, jabatan).

Karena itu, menambahkan kata relawan dalam aktivitas politik menjadi contradictio interministic, ada pertentangan di dalam istilah itu. Sebab, sangat sulit atau bahkan tidak mungkin menggabungkan politik dengan kerelaan. Tidak ada kerelaan tanpa pamrih dalam politik. Kontradiksi seperti ini juga terjadi, misalnya, dengan menggabungkan antara demokrasi dan komunisme, atau ateis yang berketuhanan, dan lain-lain.

Kamuflase

Pada masa-masa menjelang pemilihan presiden ataupun pilkada, yang tumbuh subur adalah istilah tim sukses yang dibentuk untuk menyukseskan seseorang atau partai tertentu dalam perebutan kekuasaan. Tim inilah yang akan bekerja mempersiapkan segala sesuatu agar sang calon mampu merebut hati pemilih. Tugas tim ini adalah mendandani calon sedemikian rupa, dari soal penampilan, gaya, strategi, sampai penyusunan visi-misi. Sebelum muncul istilah tim sukses, istilah yang paling banyak digunakan adalah tim pemenangan pemilu.

Istilah tim pemenangan pemilu tampaknya bisa diperhalus dengan kata tim sukses, maka menjamurlah istilah tim sukses. Sangat bisa jadi, kata relawan mungkin akan menjadi lebih manis dan halus ketimbang tim sukses, mengingat seolah-olah relawan (politik) itu sangat moralis, humanis, dan solider yang berjuang tanpa pamrih. Jika relawan (politik) punya fungsi yang sama dengan tim sukses, maka ia sarat dengan kepentingan. Kepentingan itu, pertama, agar yang didukung mampu merebut kekuasaan. Kedua, ia sendiri pada akhirnya akan mendapat sesuatu dari calon yang ia dukung. Bukankah kata Harold Laswell, politik juga merupakan persoalan " who gets what, how, and when"?

Kata relawan bisa jadi sebagai alat kamuflase yang halus atas kepentingan politik yang diusungnya. Ia digunakan untuk menyembunyikan kepentingan. Jika hal ini yang melembaga, dikhawatirkan kata relawan akan mengalami kemerosotan makna di hadapan masyarakat. Ia tidak akan dipandang sebagai sebutan yang luhur, melainkan sebutan yang selalu mengandung kepentingan di baliknya.

Dalam masyarakat yang majemuk dengan tingkat kecakapan politik seperti di Indonesia, penggunaan kata-kata seperti ini sangat menarik dan penting. Masyarakat masih mudah dibuai dengan kata, dengan janji, dengan penampilan tanpa mengetahui secara lebih mendalam mengenai integritas calon yang akan dipilih. Sistem sosial-politik yang ada juga masih belum menjanjikan keterbukaan informasi bagi masyarakat luas untuk mengenali calon pemimpin lebih dalam. Dalam hal inilah peranan tim-tim tadi menjadi sangat signifikan.

Guru politik Italia, Machiavelli, tak hanya mengamati perilaku politik para raja di Eropa, tapi juga mengajarkan bagaimana berpolitik dengan sukses. Bila perlu, seseorang harus tampak seperti singa di hadapan musuhnya yang ganas, sementara di pihak lain ia harus mampu menjadi domba yang lembut di hadapan rakyatnya. Bahkan seorang politikus yang kafir pun perlu menampakkan dirinya seperti sosok yang religius demi mendapatkan kekuasaan.

Meskipun ajaran Machiavelli dianut dan dipraktekkan oleh para politikus dan berjalan dengan baik, semua itu bukanlah ajaran politik yang elegan, kesatria, dan gentleman. Karena itu, perlu berhati-hati memilih kata yang tepat untuk mengidentifikasi diri atau aktivitas politik tertentu. Ketidakhati-hatian memilih jargon, nama, dan sebutan justru akan menjadi blunder dan merugikan. Praktek politik yang tidak jujur (tidak sekadar akuntabel) yang kian melembaga hanya akan mengelabui masyarakat dan mengantarkan rakyat ke jurang penderitaan yang lebih dalam. *

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2008/11/01/Opini/krn.20081101.146663.id.html


Salam
Abdul Rohim
CP.08566460363

No comments:

Post a Comment

Message from the green side