Monday, November 3, 2008

Menyelamatkan Petani dengan Resi Gudang

Menyelamatkan Petani dengan Resi Gudang

KRISIS demi kriris terjadi silih berganti. Kehadirannya tidak bisa diprediksi. Krisis pangan akibat perubahan iklim belum selesai, sudah keburu tersusul krisis berikutnya, krisis keuangan.
Sektor pertanian merupakan sektor paling rentan terhadap semua krisis yang terjadi. Petani selalu menjadi pihak yang paling menderita. Bahkan di saat panen raya petani justru celaka karena harga jatuh ke titik terendah.

Badai krisis keuangan global hari-hari ini memukul telak sektor-sektor andalan. Pesanan komoditi ekspor, seperti beras, karet, kelapa sawit (crude palm oil/CPO), rotan, cokelat, kopi, dan kopra menyusut drastis. Denyut nadi perekonomian seolah terputus.
Penderitaan atau nasib sial petani memang tidak selalu tecermin dari jerit tangis. Ketika jerit tangis itu sudah melampaui batas kewajaran, akan terekspresi dalam berbagai bentuk kemarahan.

Kemarahan petani tebu akhir-akhir ini bisa menjadi contoh. Berbagai kelompok petani tebu di Jawa Timur mengekspresikan kemarahan dengan cara membakar ladang tebu milik mereka. Alasannya karena tebu yang mereka tanam mulai mengering dan pabrik tebu tidak segera menebang dan menggiling tebu tersebut.

Pihak pabrik gula pun ikut mengeluh karena gudang penyimpanan sudah terlalu penuh. Malah ada yang mengaku tidak sanggup lagi membayar biaya sewa gudang.

Kisah demikian bisa dijumpai kapan saja, di mana saja, dan bisa menimpa jenis produk pertanian apa saja, seperti beras, jagung, kedelai, tebu, kopi, kopra, dan cokelat. Bahkan, celakanya situasi 'kejenuhan pasar' seperti ini bisa terjadi di sektor nonpertanian, seperti kerajinan dan industri kecil.

Yang paling terancam dalam krisis keuangan dunia saat ini tidak lain adalah petani dan usaha kecil menengah. Terutama sekali jika usaha itu sangat tergantung pada pasar ekspor. Jika sebelumnya pasar ekspor menjadi berkah, saat krisis sekarang ini justru menjadi malapetaka.

Di situlah perbedaan antara krisis keuangan dewasa ini dan yang terjadi pada 1998 lalu. Pada 1998 lalu, baik pertanian maupun usaha kecil-menengah, seperti kerajinan yang memiliki pasar ekspor, sangat beruntung. Salah satu penyebabnya adalah kurs rupiah atas dolar AS yang sangat tajam. Satu dolar AS kala itu mencapai Rp15.000.

Saat ini krisis tersebut ditandai dengan melemahnya daya beli negara-negara tujuan ekspor sehingga mereka mengurangi atau bahkan menghentikan impor sama sekali. Bahkan mereka tidak sanggup membayar tagihan yang sudah berjalan sehingga para petani, perajin, dan semua pihak dalam rantai ekspor gigit jari.

Sanggupkah pemerintah melindungi mereka yang selama ini menjadi ujung tombak perekonomian nasional ini? Apakah skema-skema penyelamatan yang ditempuh pemerintah mampu menyentuh sektor yang paling rentan tersebut?

Sistem resi gudang

Histeria para petani Jawa Timur melampiaskan kesedihan dan kemarahan dengan cara membakar ladang tebu atau membuang berkarung-karung gula mestinya tidak perlu terjadi. Karena, sebenarnya pemerintah sudah memiliki sistem penyelamatan atas krisis demikian.
Pertanyaannya, mengapa sistem penyelamatan lumpuh di saat rakyat membutuhkannya? Dua tahun lalu pemerintah dan DPR sudah menerbitkan Undang-Undang Nomor 9/2006, Tentang

Resi Gudang.

Dengan undang-undang itu baik produk pertanian maupun kerajinan bisa diselamatkan dengan cara menyimpannya di gudang. Si pemilik produk, setelah mendapatkan dokumen (resi) dari pihak pengelola gudang, bisa mengagunkan resi itu guna memperoleh dana.

Resi gudang (warehouse receipt) merupakan dokumen yang membuktikan bahwa suatu komoditas, seperti gabah serta kedelai dengan jumlah dan kualitas tertentu telah disimpan dalam suatu gudang (warehouse). Dokumen tersebut dapat dipakai untuk transaksi, mirip dengan 'kertas berharga' sehingga petani dapat mengajukan pembiayaan ke lembaga keuangan, baik perbankan maupun nonperbankan, untuk memenuhi kebutuhan uang tunai.

Dengan model resi gudang itu petani menyimpan gabah, cokelat, atau kopinya ke pengelola gudang dan mendapat bukti penyimpanan dalam bentuk resi gudang. Resi itu selanjutnya dapat dijadikan jaminan untuk mendapatkan dana tunai sebesar 70% dari total harga produk pertanian yang dititipkan berdasarkan harga pasar saat itu dari lembaga keuangan.

Pada masa-masa tertentu bila harga gabah sudah membaik, pengurus gudang dan pemilik dana melakukan penjualan gabah dengan sistem lelang untuk mendapatkan harga tertinggi. Setelah terjual, selisih harga keuntungan itu harus dibagi sesuai proporsi yang tertuang dalam kontrak.
Sistem pendanaan resi gudang itu hampir sama dengan mengagunkan Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) untuk mendapatkan dana. Sebenarnya sistem itu sudah sangat familier. Namun, sebagai sebuah sistem penyelamatan ekonomi rakyat, kegiatan ekonomi yang diatur dalam UU 9/2006 Tentang Resi Gudang itu belum dilaksanakan. Bahkan, bagi masyarakat umum nama undang-undangnya saja masih asing.

Beberapa waktu lalu proyek rintisan resi gudang sudah diluncurkan Badan Pengawas Bursa Komoditi (Bapebti) di Lampung, terutama untuk komoditas kopi dan lada. Sementara itu, di Makassar untuk komoditas cokelat. Proyek rintisan itu didukung PT Bhanda Ghara Reksa (BGR), yaitu sebuah perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) yang bergerak di bidang pergudangan. Selain itu, berperan serta pula Askrindo sebagai penjamin dan Bank Niaga sebagai bank pelaksana.

Sayangnya, meski sudah dua tahun berlalu, undang-undang resi gudang itu belum dimanfaatkan. Padahal negeri ini cukup banyak memiliki gudang, baik milik pemerintah (BUMN) maupun swasta, misalnya, gudang-gudang PT BGR yang berjumlah 300-an, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (merger antara beberapa BUMN Niaga), PT Pelindo, PT Pusri, Perum Bulog, dan sebagainya. Gudang-gudang swasta seperti Perusahaan Distribusi Wicaksana, PT Bogasari, dan berbagai gudang milik perusahaan semen.

Departemen Perdagangan dan Departemen Pertanian mestinya harus lebih sigap dalam aksi-aksi penyelamatan ini. Untuk apa Undang-undang Sistem Resi Gudang

(Warehouse Receipt System) itu dibuat jika hanya untuk pajangan. Para pemangku kepentingan, seperti pemerintah (departemen), lembaga penjaminan, pergudangan dan perbankan, termasuk juga pemerintah daerah, mestinya ambil inisiatif.

Bapebti dan pemangku kepentingan lain memang sudah mulai dengan percontohan-percontohan bagaimana sistem resi gudang itu bekerja. Akan sangat tepat jika pada saat krisis ini sistem itu benar-benar diberlakukan. Pasar-pasar lelang komoditas mestinya sudah bisa diaktifkan di daerah-daerah. Karena, pasar lelang itu merupakan fasilitas umum yang sangat vital dalam mendukung perekonomian berbasis pertanian ini.

Dalam percontohan itu sudah ada sembilan komoditas yang dapat diresigudangkan, yaitu gabah, beras, jagung, kopi, kakao, lada, karet, dan rumput laut. Saat ini sebenarnya Departemen Perdagangan juga telah melakukan sosialisasi di 66 daerah dan melakukan pengembangan pasar lelang pada 17 provinsi.

Dengan sistem resi gudang, para petani tidak perlu lagi terburu-buru menjual harga komoditasnya saat panen raya. Terutama juga di saat krisis seperti sekarang ini. Mereka dapat menentukan sikap dalam melakukan penundaan untuk menjual hingga harga komoditas betul-betul membaik dan menguntungkan. Resi gudang yang sudah dikenal luas dalam transaksi komoditas internasional bisa memberi jaminan agar mereka tidak gulung tikar. Karena, meski permintaan (ekspor) turun, tetapi produk bisa tetap disimpan di gudang dan produsen tetap mendapat dana dari resi yang diterbitkan gudang.

Bila model resi gudang itu dapat dilaksanakan di sentra-sentra produksi padi, cokelat, kopi dan sebagainya, diharapkan dapat memperkuat ketahanan pangan. Karena, gabah yang disimpan di gudang dapat menjadi cadangan dan penyangga pangan pada musim kemarau. Di samping itu, model resi gudang sekaligus berfungsi sebagai stabilisator harga pangan nasional. Di negara-negara yang sudah maju, pola resi gudang itu sudah lama diterapkan.

Tentu sangat ditunggu kapan resi gudang ini menjadi solusi nyata bagi petani dan pelaku usaha lainnya. Peran perbankan nasional sangat ditunggu. Deputi Gubernur Bank Indonesia Muliaman Hadad beberapa waktu lalu berjanji pihaknya akan mengeluarkan peraturan khusus mengenai resi gudang ini. Peraturan itu dimaksudkan untuk menunjang proses intermediasi perbankan.

Meski sudah didukung BI, termasuk peraturan pemerintah dan peraturan menteri perdagangan, tetapi bank BUMN dan swasta nasional tampaknya masih enggan berkiprah di pembiayaan resi gudang itu. Sudah tercatat 13 bank yang menandatangani perjanjian manajemen jaminan (collateral management agreement/CMA). Namun, bank 'pelat merah', seperti Bank Mandiri, BNI, BRI, dan Bank Ekspor Indonesia (BEI) belum menyentuh soal ini. Yang selama ini sudah aktif adalah bank-bank asing, seperti HSBC, Standard Chartered Bank, DBS, dan Rabo Bank.

Sebenarnya, sebelum Undang-Undang nomor 9/2006 itu disahkan, pembiayaan model resi gudang ini sudah cukup dikenal. Dengan undang-undang itu kegiatan resi gudang memperoleh legitimasi dan landasaan hukum yang kian kokoh.

Karena itu, mestinya setelah ada undang-undangnya pembiayaan resi gudang semakin bergairah. Pada 2005, Sucofindo mencatat tidak kurang dari 23 bank asing sudah mengucurkan pendanaan dalam program resi gudang. Angka tersebut meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 20 unit bank asing. Sementara itu, bank lokal yang sudah melakukan pendanaan program resi gudang pada 2005 hanya mencapai 7 unit. Angka tersebut hanya meningkat 1 unit dari tahun sebelumnya.

Jenis komoditas yang selama ini sudah dijaminkan secara resi gudang sudah cukup banyak. Yaitu, tidak kurang dari 20 jenis barang yang sudah dijaminkan secara resi gudang. Di antaranya kopi, cokelat, lada, rumput laut, jagung, beras, gabah, kedelai, pupuk, pelat baja, pipa, timah, karet, kertas, tekstil, kapas, barang-barang elektronik, hingga furnitur.
Saat krisis ini jenis barang yang bisa dijaminkan dapat diperluas dan diperbanyak, baik jenis maupun volumenya. Jika selama ini terfokus pada daerah-daerah tertentu, mestinya bisa diperluas persebarannya ke seluruh wilayah Indonesia.

Oleh Yohanes S Widada, Litbang Media Indonesia

http://mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NDA2MjM=

Salam
Abdul Rohim
CP.08566460363

No comments:

Post a Comment

Message from the green side