Tuesday, November 25, 2008

awas Karma ekonomi, lebih mengerikan

Ekonomi sudah sulit begini mosok seorang petinggi negara menyuruh boros, seperti artikel yang saya comot dari kompas tanggal 25 Nopember 2008, lihat aja komentar di bawahnya yang menunjukkan ketidak setujuannya dengan pendapat beliau. Orang kaya dan terhormat ini akan menghadapi banyak persoalan ekonomi berhubungan dengan krisis Amerika yang efeknya kemana-mana ini. Terkenal dengan Tsunami ekonomi.

Semua orang kebingungan "Dimanakah mencari uang?", "Uang dimanakah dirimu?", karena negara berusaha menyedot uang masyarakat, bank juga membutuhkan dana masyarakat. sementara masyarakat sebenarnya juga tidak duit, kecuali yang kaya loh...tapi orang jadi kaya kan asalnya dari pelit, kalo gak pelit ya nggak kaya deh...

Kemungkinan akan ada kecurigaan dan operasi penimbun uang...karena uang sulit didapat, orang jualan gak ada yang beli dan semua orang nanti akan tertarik dengan solusi yang bahaya dan tidak terduga, bunuh diri misalnya atau bunuh orang lain...wah mungkin loh. Makanya kalo harga seharusnya turun ya turunin dong, jangan naik terus...awas kena karma ekonomi.

Sekedar menyimpan artikel aja:

Kalla Ajak Sedikit Boros

SELASA, 25 NOVEMBER 2008 | 13:48 WIB

Laporan Wartawan Persda Network Ade Mayasanto

JAKARTA, SELASA - Menghalau dampak krisis keuangan AS yang tak juga kunjung meredup, Wakil Presiden Yusuf Kalla mengajak semua pihak untuk sedikit lebih boros mengeluarkan dana. Pengeluaran dana ini untuk memacu peningkatan produksi industri yang loyo lantaran kehilangan pasar di Amerika Serikat dan Eropa.

"Kalau ada pepatah hemat pangkal kaya, dalam keadaan sekarang negara-negara harus sedikit lebih boros, makin menghemat makin susah ekonominya. Ini karena kalau semua orang menghemat tidak ada yang belanja," kata Wakil Presiden Jusuf Kalla saat membuka Workshop Evaluasi dan Persiapan Program Percepatan Pembangun Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) di gedung II Istana Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (25/11).

Mantan Menko Kesra ini menilai, ketiadaan untuk berbelanja justru lambat laun memastikan toko, dan industri Tanah Air gulung tikar lantaran produksinya tidak laris manis. "Jadi harus ada spending (pengeluaran)," ujarnya.

Meski memastikan memberi porsi lebih pada pengeluaran, Kalla mengingatkan, pengeluaran dana tersebut diperuntukkan pada sektor-sektor yang menyentuh langsung masyarakat luas. Pengeluaan dana dikhususkan untuk membuat jalan, pengairan, dan listrik. "Ini agar masyarakat tidak kekeringan likuiditas. Sehingga daya beli ada, dan menghidupkan sektor lain serta tidak ada pengangguran," tandasnya.

ADE
http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/25/13481732/Kalla.Ajak.Sedikit.Boros

2009 Akan Menjadi Tahun Krisis

SELASA, 25 NOVEMBER 2008 | 19:00 WIB
JAKARTA, SELASA - Krisis ekonomi di tahun 1998 lalu, diyakini akan kembali terulang pada tahun 2009. Gejala-gejalanya sudah ada, akhir tahun akan banyak perusahaan yang menyatakan bangkrut serta nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika yang terus menurun. PHK tak bisa dihindari.

"Perlu diingat, Soeharto jatuh saat rupiah berada di level 16.000 ketika itu. Situasi sekarang memang makin mengkhawatirkan, sama seperti tahun 1998. Gejalanya sudah terasa, PHK sudah mulai dilakukan, pesana-pesanan dari luar negeri sudah berkurang dan tidak bisa mengandalkan pasar di dalam negeri," ujar Ketua Komite Fiskal Kadin, Bambang Susatyo dalam diskusi yang diadakan di DPR, Selasa (25/11).

Kadin, kata Bambang, berharap penuh kepada para pelaku politik yang ada saat ini untuk bisa bersama-sama mencari solusi agar negara bisa keluar dari krisis. Termasuk, mendorong kepada pemerintah terkait rencana menurunkan harga BBM secara signifikan. Rencana pemerintah yang akan menurunkan harga BBM dengan angka Rp 500 masih jauh dari harapan. Harusnya, yang moderat adalah untuk premium penurunannya sebesar Rp 1.500 dan untuk solar Rp 1.000. Ini harus dilakukan dalam upaya untuk menggerakkan daya beli masyarkat yang makin menurun sekarang ini," papar Bambang.

Ia tidak memungkiri bila pemerintah sudah melakukan penurunan terhadap suku bunga. Namun, yang diminta bagi kalangan dunia usaha sebetulnya penurunan bisa sampai 8,5 persen. "Turunnya harusnya secara signifikan. Karena apabila dunia usaha hancur, maka secara politik Pemilu 2009 nanti, tidak akan semarak seperti Pemillu 2004. Para pelaku politik harus sama-sama membangun APBN yang pro rakyat. Kalau ekonomi tak bagus, rakyat akan jadi pragmatis dan suara yang akan diberikan tidak akan realistis lagi," ungkapnya.

Hasto Kristianto, politikus dari PDI Perjuangan mengungkapkan, dalam proses APBN 2008-2009 menjadi penggelembungan ekonomi politik, seakan menjadi politik image saja. Pemerintah mengalami kesulitan bahkan sudah ada rencana untuk mempersiapkan revisi APBN yang sebelumnya belum dilakukan.

"APBN sebagai stimulus fiskal, secara politis gagal. Ini membuat pesimisme kami atas usaha-usaha yang dilakukan pemerintah dalam perbaikan masalah ekonomi. Tidak ada konsistensi kebijakan yang bisa diterapkan oleh pemerintah sekarang ini," ujar Hasto.

Ditinjau dari struktur anggaran, jelasnya, masih sangat bergantung pada ekonomi global, tidak ada keinginan pemerintah melakukan renegoisasi dalam upaya untuk bisa meningkatkan penyerapan tenaga kerja. "Kami mengusulkan defisit di 0 kan saja dulu. Jalan-jalan keluar negeri, tidak usah dulu. Pembangunan yang tidak penting, tak usah dilakukan. Dan kami mengusulkan agar BLT dihapus," kata Hasto.

"Jangan sampai, rakyat di saat kondisi ekonomi yang susah, malah diajarkan menjadi pengemis. Lebih baik dialokasikan untuk padat karya membangun usaha-usaha kecil untuk rakyat," tambah Hasto.


YAT
Sumber : Persda Network
dari http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/25/19003859/2009.akan.menjadi.tahun.krisis


Wapres: Dampak Krisis AS bak Banjir Kiriman

SELASA, 25 NOVEMBER 2008 | 15:28 WIB
Laporan Wartawan Persda Network Ade Mayasanto

JAKARTA, SELASA - Wakil Presiden Jusuf Kalla mempunyai pandangan tersendiri mengenai dampak krisis keuangan AS di Tanah Air. Berhari-hari dikepung dampak krisis keuangan AS, Kalla mengibaratkan fenomena tersebut bak banjir kiriman yang kerap melanda Ibu Kota Negara, Jakarta.

"Kita menghadapi situasi krisis yang disebabkan krisis kiriman. Ini sama saja dengan banjir kiriman," gurau Wakil Presiden Jusuf Kalla membuka Workshop Evaluasi dan Persiapan Program Percepatan Pembangun Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) di gedung II Istana Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (25/11).

Dengan senyum melebar, pria berkumis tipis ini kembali melempar guyonan dihadapan sekitar 200-an peserta. "Kalau krisis banjir mungkin kita atur dengan memperbaiki selokan. Tapi kalo banjir kiriman suka tidak suka banjirnya ada. Ini sama dengan krisis dewasa ini. Krisis kiriman. Harus diterima harus dialami," ungkapnya.

Tidak ingin berpasrah diri menerima 'banjir kiriman' di Indonesia saat ini, mantan Menko Kesra ini mengaku, memiliki jurus untuk menghadang dampaknya. "Kita harus punya cara untuk mengatasi itu. Yakni, meningkatkan daya beli sekaligus produktivas masyarakat," jelasnya.

Kalla menyatakan, rendahnya daya beli Amerika Serikat dan Eropa mau tak mau menurunkan jumlah angka ekspor di Indonesia. "Menurunnya daya beli akan menurunkan industri dalam negeri juga," terangnya.

ADE

http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/25/1528413/wapres.dampak.krisis.as.bak.banjir.kiriman


Ketika Krisis dan Bursa Global Berjatuhan

SELASA, 25 NOVEMBER 2008 | 11:50 WIB
PEMAIN saham menyaksikan nilai uangnya menyusut di depan mata. Harga saham yang tadinya sangat tinggi kemudian terus mengempis dalam waktu singkat. Kini, ada selembar saham yang harganya lebih murah ketimbang sebiji permen.

Optimisme yang semula mekar di setiap sudut lantai perdagangan saham kini sulit mencari ekspektasi positif di labirin bursa. Menaruh sedikit harapan harga saham tidak turun hari ini atau besok terasa amat sulit.

Ini bukan provokasi. Penjualan secara membabi buta (panic sellling) merupakan pemandangan sehari-hari. Seolah tidak ada lagi pilihan kata yang tepat untuk menggambarkan situasi pasar yang menggila. Bukan hanya investor. Tidak sedikit di antara manajemen emiten yang kelimpungan memadamkan gejolak yang membakar pasar saham, termasuk saham perusahaannya sendiri.

Seolah-olah hanya satu kata yang terdengar di pasar... jual... jual... jual...! Maka, semakin runtuhlah harga saham. Indeks harga saham terus tertekan. Jumlah saham yang mengalami penurunan harga lebih banyak ketimbang saham yang meningkat harganya. Kalaupun sempat naik sedikit dengan susah payah, dalam sekejap bisa hancur lagi dengan sebab yang tak jelas juntrungannya.

Indeks harga saham gabungan (IHSG), misalnya, terus tertekan mencapai titik terendah baru setiap hari. Tak terkecuali Indeks Kompas100 yang biasanya lebih tangguh dibandingkan dengan indeks-indeks saham lainnya. Ditimpali pula melemahnya kurs rupiah.

Bukan hanya pasar saham Jakarta yang terpuruk. Seluruh dunia juga mencatat keterpurukan. Bahkan, banyak indeks saham yang jatuh lebih dalam, lebih besar, ketimbang indeks dan harga saham di Bursa Efek Indonesia.

Adanya siklus bisnis. Setelah mencapai titik nadirnya, arah siklus itu akan bergerak naik. Apakah kondisi pasar saham Indonesia sudah mencapai titik nadir untuk bangkit kembali? Tidak ada yang tahu. Meratapi kondisi pasar pun tidak berguna. Risiko selalu melekat erat pada investasi. Seberapa besar potensial kerugian yang dipikul investor akibat kejatuhan pasar saham, sebesar itu pulalah risiko yang dikantongi.

Perkuat pasar domestik

Dengan resesi, bisnis lesu, dan laju pertumbuhan ekonomi menurun yang terjadi di Amerika Serikat, Eropa, serta Jepang, jelaslah apa yang bakal terjadi pada Indonesia. Ketiganya merupakan tujuan utama ekspor produk Indonesia. Permintaan akan produk dari Indonesia pun bisa merosot sehingga perusahaan produsen barang manufaktur dan produk primer (pertanian, pertambangan, perikanan, dan perkebunan) menjadi kesulitan memasarkan produknya. Pendapatan Indonesia dari ekspor ke sana menciut.

Persoalan menjadi semakin rumit karena perusahaan mesti menanggung beban tambahan dari melemahnya nilai tukar rupiah sehingga pengeluaran rupiah untuk membayar utang dan mengimpor bahan baku menjadi membengkak. Ditimpa lagi dengan beban suku bunga pinjaman bank. Apalagi, kini muncul desakan dan gerakan ”tidak mau tahu” dari buruh agar perusahaan menaikkan upah minimum. Semakin lengkaplah kerumitan persoalan dunia usaha, termasuk emiten.

Dalam kondisi demikian, ancaman pemutusan hubungan kerja antara buruh dan perusahaan semakin terbuka lebar. Pengangguran membengkak, berarti daya beli masyarakat secara keseluruhan semakin mengecil. Turunnya daya beli menekan permintaan akan produk barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan sehingga semakin melengkapi keterpurukan dunia usaha.

Memperkuat pasar dalam negeri dalam arti masih tingginya permintaan domestik sejatinya menjadi tumpuan bagi perusahaan untuk memperpanjang daya tahan hidupnya.

Akan tetapi, urusan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pasar dalam negeri yang tertekan oleh daya beli masyarakat, kemungkinan pasar domestik bakal diserbu pula barang dumping dari luar negeri, juga menganga lebar-lebar. Ini masuk akal karena perusahaan di luar negeri juga berupaya mencari pasar lain setelah pasar domestiknya pun tertekan.

Memperkuat pasar domestik tidak ada cara lain, kecuali menjaga daya beli masyarakat tetap tinggi. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah memperlancar penyerapan anggaran pemerintah pusat dan pemerintahan di daerah. Soalnya, kini ada sekitar Rp 90 triliun dana pemerintah daerah yang ditaruh di perbankan untuk menikmati bunga bank yang semakin meningkat pula.

Dengan cara itu, terutama jika anggaran menganggur itu dipakai untuk mendorong pembangunan infrastruktur yang menyerap lapangan kerja banyak, selain menjadi katup pengaman bagi tenaga kerja, juga bisa menjadi penyulut api pertumbuhan ekonomi terus menyala, menciptakan lapangan kerja, dan permintaan barang tetap ada. Perusahaan terus berproduksi, termasuk emiten di bursa efek tersebut. Sesederhana itukah jalan keluar dari kemelut ini. Tentu saja kompleks. Tetapi, langkah yang sederhana pun tanpa implementasi juga tak membuahkan hasil.

Perbankan yang masih memiliki dana besar yang ”menganggur” mesti pula memiliki komitmen untuk menyelamatkan perekonomian bangsa ini. Kucurkanlah dana-dana itu kepada pengusaha mikro, pengusaha-pengusaha skala kecil yang tangguh dan tanpa niat mengemplang itu, agar menciptakan bisnis, lapangan kerja, dan pendapatan bagi masyarakat. Mudahkanlah urusannya untuk mengakses pendanaan usaha, dengan mengurangi birokrasi dan persyaratan yang sulit dipenuhi mereka.

Para regulator, termasuk pengawas pasar modal dan pasar uang, mesti meningkatkan ketajaman pengawasannya terhadap perilaku para ”pemain” yang diawasinya. Meningkatkan integritas pasar, menegakkan aturan, dan membuat aturan pencegahan perilaku buruk tidak bisa ditawar untuk memelihara kepercayaan investor di pasar. Tanpa upaya bersama dan serentak secara signifikan untuk mengatasi persoalan, jelas arah perekonomian, termasuk bursa saham sebagai jendelanya, bakal suram pula.

Kumpulkan potensi

Apa yang paling menarik dilakukan kini oleh pengusaha? Eksekutif properti AH Marhendra menyatakan, konsolidasi ialah hal paling mutlak dilakukan. Kumpulkan kembali semua potensi yang terserak agar menjadi energi amat kuat untuk berdiri tegak di tengah badai krisis. Formula lain, merampingkan manajemen, memotong anggaran yang tidak perlu. Akan tetapi, di sisi lain, membelanjakan anggaran besar agar sangat aktif di semua lini pasar.

Marhendra percaya masih banyak ceruk pasar yang belum digali, masih besar potensi pasar yang tersembunyi di sekeliling masyarakat, termasuk di pelbagai provinsi. ”Setiap hari ada pernikahan dan kelahiran anak. Tidak mungkin mereka tidak membutuhkan rumah. Kan tidak elok selalu tidur di rumah mertua indah,” ujar Marhendra, COO SpringHill. Di sisi lain, tim kreatif perusahaan properti harus bekerja keras mendesain rumah yang cakep, kokoh, tetapi sekaligus terjangkau. Inilah tantangan perusahaan-perusahaan properti, juga perusahaan di bidang usaha lain,

Pengembang senior Ciputra menyatakan, ia meminta semua anggota stafnya bekerja dan berproduksi secara sangat efisien. Pembangunan properti diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan konsumen, bukan untuk gagah-gagahan. Ciputra juga selalu percaya, dalam masa krisis seperti sekarang selalu ada celah untuk dimasuki para pemain properti. Dalam semua krisis selalu ada peluang, selalu ada ruang untuk berimprovisasi dan berkreasi. Pengembang senior ini pun akan meneruskan proyeknya hingga rampung. Kalau tuntas dua tahun lagi, krisis diharapkan sudah lewat dan daya beli masyarakat sudah pulih kembali. Pada saat itulah semua produknya diserbu konsumen.

Kiat yang sama dilakukan pengembang lain, Puri Botanical Garden, Jakarta. CEO perusahaan ini, Sanusi Tanawi, menyatakan, perusahaannya beruntung sebab tidak terlampau terpengaruh oleh badai krisis ekonomi dunia yang sangat dahsyat.

Secara umum dapat ditarik sebuah benang merah masalah, tidak ada yang membantah bahwa badai krisis ekonomi dunia ikut menerpa Indonesia. Akan tetapi, perusahaan-perusahaan yang memiliki reputasi besar tidak putus harapan. Mereka justru menggelar jurus-jurus kreativitas dan inovasi. Mereka mengerahkan segenap energi untuk berkompetisi di ruang amat sempit dengan para pebisnis lainnya. Menariknya, tidak ada yang gentar, semua yakin memiliki strategi terbaik memenangi ceruk pasar yang sempit. Menarik menanti siapa yang menyiapkan formula paling jitu. Siapa yang mampu meraup laba terbesar pada saat krisis. Yang mampu melakukannya niscaya merupakan perusahaan yang sangat berkelas.


Andi Suruji,Abun Sanda

http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/25/11505763/ketika.krisis.dan.bursa.global.berjatuhan

Saatnya Kerja Sama Menangkis Krisis

RABU, 12 NOVEMBER 2008 | 10:27 WIB

Dampak krisis global sudah terasa. Industri padat karya penghasil produk konsumsi mulai meradang karena kehabisan permintaan. Order ekspor yang biasa melimpah di akhir tahun kini sepi. Buruh dan pengusaha pun berada di bibir jurang yang sama. Kerja sama yang solid kini dibutuhkan untuk menangkis dampak krisis.

Sekarang rasanya bukan saat yang tepat untuk saling berdebat. Krisis global sudah mulai menggerogoti kita. Jika tak solid, pengusaha dan buruh bakal sama-sama tergilas krisis global, yang berawal dari ambruknya sektor keuangan di Amerika Serikat dan Eropa.

AS mengalami tingkat pengangguran terburuk selama 14 tahun terakhir. Sebanyak 600.000 orang kehilangan pekerjaan dalam tiga bulan terakhir dan menjadi bagian dari 1,2 juta orang penganggur baru di AS tahun ini.

Pekerja industri manufaktur, properti, metal, dan jasa keuangan merupakan sektor yang paling banyak menjadi penganggur. Ekonom Goldman Sachs, biro riset AS, memperkirakan, tingkat pengangguran mencapai 8,5 persen tahun 2009.

Mereka yang tidak bekerja akan mengurangi belanja, yang menggerakkan dua pertiga kegiatan ekonomi nasional. Kondisi ini yang kemudian turut menekan permintaan pasar AS terhadap produk negara lain.

Produsen tekstil, produk tekstil, dan komponen elektronik atau kendaraan bermotor Indonesia mulai merasakannya.

Produsen yang berorientasi ekspor kini kehilangan pasar. Pasar lesu, bertepatan dengan berlangsungnya rutinitas akhir tahun penetapan upah minimum baru tahun 2009.

Industri padat karya kelimpungan. Mereka mulai mengurangi produksi sedikitnya 30 persen. Tak sedikit buruh yang dirumahkan. Buruh kontrak dan pemasok bahan baku pun terpaksa menganggur.

Kesinambungan

Kalangan serikat buruh dan pengusaha sepakat, kesinambungan pekerjaan sangat penting bagi pekerja. Namun, peran pemerintah sebagai pengawas implementasi peraturan ketenagakerjaan tetap dibutuhkan. Optimalisasi bipartit akan sulit tercapai jika pemerintah tidak netral.

Menurut Presiden Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (K-SBSI) Rekson Silaban, forum bipartit di tingkat pabrik harus lebih aktif bertemu dan mencari solusi jika perusahaan menghadapi kendala. Politisasi persoalan justru bakal mempersulit keadaan. ”Segera identifikasi sektor yang terkena dampak langsung krisis agar proses penyelamatan bisa lebih cepat,” kata Rekson.

Soliditas buruh dan pengusaha sangat dibutuhkan sekarang untuk mencegah PHK massal jika krisis semakin parah. Lembaga donor internasional pun jangan lagi memakai syarat yang membebani negara debitor saat memberi pinjaman. Rekson bakal menyampaikan hal ini dalam pertemuan serikat buruh dari 20 negara dengan pemimpin G-20 di Washington DC, AS, Sabtu (15/11).

Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia Said Iqbal mengatakan, manajemen harus lebih terbuka kepada serikat pekerja tentang kondisi perusahaan. Ini membuat pekerja lebih siap. ”Kalaupun dimulai dari pembahasan pergeseran jam kerja, dirumahkan, sampai akhirnya ada pemutusan hubungan kerja, semuanya tidak tiba-tiba. Jadi, pekerja bisa lebih mempersiapkan diri untuk mengantisipasinya,” kata Iqbal.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengatakan, pengusaha tetap memiliki kepentingan yang sama dengan buruh saat ini. Jika buruh membutuhkan pekerjaan, maka harus bersama dengan pengusaha mempertahankan perusahaan.

”Investasi baru sudah tak mungkin diharap saat ini. Jadi, tak ada jalan selain mempertahankan yang sudah ada. Pengusaha hanya butuh ketenangan agar usahanya tidak hancur akibat krisis global dan politisasi persoalan,” ujar Sofjan.

Hamzirwan
Sumber : Kompas Cetak
http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/12/10270421/saatnya.kerja.sama.menangkis.krisis

Foto dari kompas


No comments:

Post a Comment

Message from the green side